Ternyata bukan cuma suami-istri atau orang lagi pacaran aja yang bisa rentan salah paham, hubungan orang tua dengan anak juga bisa memicu banyak konflik. Di postingan sebelumnya, saya sempat membahas sedikit mengenai hubungan saya dan Mama yang love-hate relationship. Mama maksudnya A, saya nangkepnya B. Mama maunya B, eh saya keukeuh maunya C. Kebanyakan salah paham inilah yang berujung perdebatan dan bahkan perselisihan mewarnai hubungan kami. Efek gejolak kawula muda juga kali ya? #halah #ape. Semakin dewasa, saya jadi sadar bahwa segala larangan dan sikap overprotective Mama ke saya dan adik-adik adalah salah satu ungkapan rasa cinta kepada anaknya. Sayangnya ungkapan rasa cinta itu sering saya salahartikan. 🙁
Ungkapan Rasa Cinta Kepada Anak Versi Saya
Kalau ditanya, emang kamu nggak bakalan overprotective sama anakmu, kayak Mamamu dulu? YA NGGAK LAH! NGGAK SALAH LAGI BAKALAN OVERPROTECTIVE JUGA! Hahahaha. Cuma PASTI akan berbeda caranya karena selain zamannya juga beda ya kepribadian dan karakter kami kan juga beda. Saya banyak mengambil pelajaran juga dari hubungan kami dulu, yang positifnya diambil, yang negatifnya ya break the chain alias jangan diikutin dan diterapin lagi. Misalnya…
1. Menggunakan Kata ‘Jangan’ Saat Melarang Anak.
Terdengar sepele ya ketika kita masih memakai kata “jangan!” untuk melarang anak melakukan sesuatu tapi ternyata efeknya lumayan besar. Dulu sih seinget saya, ketika Mama melarang saya sesuatu, saya pasti akan bertanya, kenapa sih jangan? kenapa nggak boleh? Yang seringnya berujung debat karena jawaban Mama menurut saya nggak logis atau nggak memuaskan. Hehe. Mulai berasa sih emang pas anak udah lancar ngomong dan bisa diajak komunikasi dua arah, dia pasti nanya, “kok nggak boleh ini?”, “kok nggak boleh itu?” dan sebagai orang tua kita bertanggung jawab untuk memberikan alasan logis yang bikin anak sadar dan ngerti kenapa dia dilarang melakukan sesuatu. Kalau pas masih balita kan dibilangin nggak boleh terus dikasih tau alasannya pun dia iya-iya aja, kalau sekarang? Beuh, dilarang sekali, dikasih alesan, eh bisa panjang dan merembet kemana-mana deh bahasannya. Tapi tetap harus konsisten sih menyertakan alasan setiap melarang anak melakukan sesuatu.
2. Perhatian dalam Bentuk Sentuhan Fisik dan Verbal
Kami memiliki rutinitas sebelum tidur untuk saling mengucapkan ‘goodnight’ dan bilang kalau kami sayang ke anak. Ya terserah sih habis itu anaknya mau bales apa nggak, hahaha, yang penting dia tahu kalau kami sayang lho sama dia. Setelah bisa diajak komunikasi sebelum kami memeluk atau mencium biasanya kami akan tanya dulu sama anaknya, kami boleh cium dan peluk nggak? Kamu lagi mau dipeluk dan dicium nggak? Kalau jawabannya nggak ya kami nggak boleh marah dan maksa, menghargai otoritas dia atas tubuhnya sendiri. Walaupun kalau lagi gemes sih suka colongan peluk atau cium aja nggak minta izin dulu terus anaknya kesel karena lagi nggak pengen digemesin. :))
Jadi jangan heran kalau baru ketemu dia terus dia menolak untuk dicium atau dipeluk, yaaa.. jangankan orang lain, kami aja orangtuanya suka diprotes kalau dia lagi nggak mau dipeluk atau dicium.
3. Melatih Anak Agar Terbiasa Mandiri
Waktu kecil saya seringkali bolak-balik warung entah itu buat beli sayur, gula, atau bahkan rokok. Udah gitu kalau minta uang jajan, disuruh cabutin uban Bapa atau Mama saya dulu yang dihargai per helainya Rp.25,- saja (ketauan angkatan berapa yekan!). Ternyata itu ungkapan rasa cinta juga loh. Mereka bilang kalau ada kalanya kami nanti mengurusi diri sendiri dan nggak selamanya tinggal sama orang tua. Sekarang saya setuju akan hal itu sih. Saya sih nggak mau ngoyo kalau anak harus mandiri sedini mungkin, tapi paling nggak ada beberapa pekerjaan kecil yang bisa ia kerjakan sendiri sesuai dengan umurnya. Untungnya sih, anaknya belom protes disuruh ini-itu sekarang. Hehe.
4. Memberikan Vaksin
Alhamdulillah, Mama saya dulu juga concern banget sama vaksin, sebelum beliau ngantor kalau ada jadwal Posyandu pasti beliau rela telat ngantor demi nganterin saya vaksin dulu di Posyandu. Saya sependapat sama beliau, bahwa usaha untuk menjaga kesehatan anak nggak cuma dari asupan makanan sehari-hari dan pemberian suplemen aja tapi harus vaksin juga! Nah, berhubung akhir-akhir ini Difteri mewabah lagi (hiks! damn you antivax!) yang cukup bikin parno kalau mau bepergian terutama ke daerah KLB, jadi beberapa hari lalu saya bawa anak saya untuk vaksin lagi walaupun kalau dari jadwal sih udah lengkap.
Dulu sih anaknya pasrah aja kan ya kalo dibawa vaksin, nah sekarang ini biasanya saya sounding dulu kalau dia mau disuntik vaksin, terus dia nanya kenapa harus vaksin? dia juga ‘protes’ kalau disuntik kan sakit. Tapi ya kami jelaskan kalau sakitnya nggak lama dan boleh nangis kalau memang mau. Kami memilih jujur supaya dia bisa siap dan menghadapi rasa sakitnya ketika disuntik.
Dari beberapa kali vaksin, respon tubuhnya memang beda-beda. Ada yang demam, ada yang nggak. Tapi just in case anaknya demam atau rewel pasca vaksin, saya sedia Tempra syrup di rumah.
Kenapa harus Tempra syrup? Selain anak saya suka rasanya, Tempra aman di lambung, tidak perlu dikocok lagi karena kandungan di dalamnya sudah larut 100% dan dosisnya tepat. Eh bener aja, malamnya anak saya rewel bukan main, suhu badannya naik dan dia mengeluhkan di bagian yang disuntik terasa sakit. Setelah diberikan Tempra syrup, lalu dipeluk dan dipijati secara perlahan, tangis anak saya mereda dan ia tertidur pulas.
Ngomongin ungkapan rasa cinta Ibu ke anak emang nggak bakalan ada habisnya ya, kalau dulu saya belum bisa memaknai peribahasa “Kasih Sayang Ibu Sepanjang Masa, Kasih Sayang Anak Sepanjang Galah”, setelah jadi seorang Ibu ternyata peribahasa itu benar adanya. Sampai kapanpun, kita ingin selalu memberikan yang terbaik bagi anak. Nah, gimana caranya nih supaya si ungkapan rasa cinta ini bisa sampai dan diterima dengan baik sama anaknya? Caranya menciptakan kenyamanan saat berkomunikasi sama anak, mendengarkan dari sisi dia dan jujur. Iya susah banget, sampai saat ini saya masih belom lulus pelajaran ini. Tapi paling nggak saya coba untuk meminimalisir konflik dengan anak cuma gara-gara ungkapan rasa cinta saya nggak diterima dengan baik sama dia.
**Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog yang diselenggarakan oleh Blogger Perempuan Network dan Tempra**
Comments
Aku kok masih belum sepenuhnya ya bisa menghentikan kata ‘jangan’ hehe kadang spontan saja keluar kl ada yang tidak sreg gitu, padahal efeknya jelek ya
Author
Kalo menurut saya sih nggak selamanya efeknya jelek, jadi masih saya pakai juga. Cuma ya gitu, anaknya denger kata ‘jangan’ udah cemberut duluan mukanya. Padahal maksud kita kan baik. Hahaha
Aku paling gak bisa nerapin buat gak bilang jangan sama anak. Perasaan udah ngeremnya buat gak bilang jangan ini jangan itu, eh tetep aja kalo udah sebel asal aja bilang gitu. Dan tanpa jelasin lagi kenapa gak boleh. Heheh
Author
Aku banget inii kalo lagi emosi sama panik! Hahaha. Yang penting anaknya nggak ngelakuin sesuatu yang bahaya atau salah dulu deh yaa. Hihihi
Dulu kata ‘jangan’tak disertai penjelasan yang logis dan jelas. Beda ketika Al Quran mengakatakan ‘jangan’selalu disertai penjelasan yang jelas. Jadi bukan kata ‘jangan’sebenernya yg jadi masalah tapi pada sisi edukasi yg harus menyertai kata tersebut.
Makasih artikelnya ya Mbak 🙂
Author
Huaa iya bangeeet Mbak. Sisi edukasinya ya yang dibenahi bukan bentuk kata ‘jangan’nya. Makasih pencerahannya Mbak 🙂
Kata “jangan” ini susah juga dihindari. Kadang udah kelepasan bilang jangan ini itu. Heuuu perlu banyak belajar.
Author
Aku juga masih terus belajar nih, Mbak. ^^
Setiap tahap usia anak beda ya mba pola pengasuhannya, harus terus Selakau belajar kita.
Author
Iya mbak, belum nanti anak yang kedua, beda sifat beda lagi penanganannya. Never stop learning yaa orang tua tuh.
obatnya manis ya…bikin emaknya ga perlu banyak ‘memaksa’ anak minum obat. obat sepanjang masa ini. 18 tahun yang lalu, saya selalu sedia obat tempra di kotak obat.
Author
Ini obat juga andalan dari saya kecil eh ternyata anak saya cocok juga.
Saya sudah 80% menahan kata jangan untuk diungkapkan kepada anak, tapi saat emosi sedang down kata-kata itu langsung ada di urutan pertama.
Author
udah reflek yaa mbak, emang susah nahannya kalo lagi emosi. huhuhu
Wah, iya tuh suka nyolong-nyolong meluk dan cium saking susahnya mau meluk.
Author
iya nih apalagi ntar udah jadi remaja ya, makin susah kali ya dipeluk dan dicium huhu
aku belajar banget tuh yg jangan pakai kata “jangan”, udah lolos, sebagai penggantinya pakai bahasa yg bisa dimengerti aja … misal melarang main colokan kabel “mamas kok main colokan kabel ? colokan kabel bukan buat mainan ya, nanti klo kesetrum kena tangan jadinya mamas aduh (sambil meragain muka sedih)”
Author
Wahh, nice share, Mbak. Makasih yaaa ^^
Saya kadang-kadang suka sebel kalau dilarang ini itu sama bapak dan ibu, dulu waktu saya masih single. Sekarang setelah punya anak saya baru sadar, saking sayangnya orang tua ke kita maka beliau begitu. Nah di zaman now pola pengasuhan memang sudah berbeda ya orang tua harus bisa menjadi sahabat sekaligus pembimbing untuk anaknya.
Author
Hahaha sama persis Mbak, sepertinya di zaman now cara ‘otoriter’ seperti dulu nggak bisa diterapkan sepenuhnya deh. Khawatir anaknya malah berontak dan jadi tertutup sama kita ya.
Saya masih pakai kata “jangan”, apalagi untuk hal-hal yang membahayakan dirinya dan butuh respon cepat dari anak. Atau hal-hal yang butuh ketegasan, misal anak melakukan hal tidak sopan di depan umum.
Author
Yup, sama kita Mbak! *tos*
Iya nih, masih suka keceplosan menggunakan kata jangan, meskipun akhirnya saya akan menjelaskan alasannya
Author
Hihihi iya mbak sama, ada beberapa hal yang menurut saya masih efektif menggunakan kata jangan dibanding menggunakan kalimat lain.
Kata jangan, kadang-kadang malah bikin anak penasaran ya mbak. Hehehe.Btw, tempra ini obat panas anak dari zaman dulu banget. Ampuh buat anak dan ga bikin anak males minum obat.
Author
Iya mbak, anak saya malah doyan. Dikasi Tempra sekali eh minta lagi. :))
25 rupiah kayaknya kita seangkatan nih.. Hahaha
Btw, mbak sekarang setelah jadi orang tua kita baru ngerasa kalau dulu nasihat orang tua itu benar adanya ya… Jadi inget saat ngeyel sama Ibu.. Hiks!
Author
Aaaakkk, generasi90an lah ya kita. Hahaha.
Duh, sekarang kalo ngadepin anak mulai nggak sabar, mamaku bilang: Dulu kamu gitu loh sama Mama.
langsung JLEB banget! huhuhu
haha, saya dan ibu saya dulu juga gitu mbak, Eh, masihlah sampai sekarang jg gitu sih. Setelah punya anak sendiri memang jd agak membaik. Salam kenal yaa
Author
Salam kenal Mbak Annisa!
Iya bener, Mbak, setelah punya anak jadi lebih kerasa banget deh membaik hubungannya. Malah malu sendiri dulu suka ngeyel sama orang tua. huvt.
Sama mba saya juga menghindari kata “jangan” saat melarang anak. Dari pada bilang misalnya “jangan lari, nanti jatuh”, biasanya saya ganti dengan “hati-hati ya ada lubang disitu”. Misalnya.
Thanks sudah berbagi tips parwnting mbaa 😘
Author
Sama-sama Mbak. Kadang saya juga masih suka keceplosan nih bilang “jangan” soalnya lebih singkat, tapi udahannya anaknya nanya kenapa jangan? nah panjang lebar lagi deh jelasinnya. hahaha tau gitu dari awal aja ya gak bilang “jangan”
aku juga sering cabutin uban wkt kecil, mba.
Hihiii… seru sih kalu inget
Author
ya ampuuuuun aku kira aku ajaaaa hahahaha tos dulu mbaaakk.
dulu kok rasanya nyebelin yah, tapi sekarang kangen juga. cuma ya udah ubanan semua rambutnya masa iya dicabutin semua, plontos dong ntar hahaha
Kata jangan itu sungguh kata terlarang buat anak ya Mbak. Aku berusaha untuk mengganti kata jangan itu dengan kata-kata yang lebih halus saat berbicara dengan keponakan ku, walaupun agak sedikit sulit untuk mencari kata gantinya.
Author
Sebenernya sih aku masih pakai mbak untuk hal-hal yang menurutku mutlak nggak boleh. Misal, jangan main-main sama stop kontak. tapi ya itu, tugas selanjutnya ngasih pengertian kenapa kita bilang jangan..